Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) meyakinkan bahwa tidak ada peningkatan permukaan laut di sekitar wilayah Selat Sunda, Jawa Barat setelah gempa bumi berturut-turut yang melanda wilayah itu dalam dua hari terakhir.
Gempa bumi berturut-turut yang tercatat di Selat Sunda pada 10 dan 11 Januari, mengakibatkan kenaikan permukaan laut yang signifikan sebagai indikasi tsunami di daerah tersebut, kata Deputi Bidang Geofisika BMKG, Muhamad Sadly dalam pernyataan tertulis, Sabtu. 12 Januari.
Saldy mengatakan bahwa pihaknya masih memantau perkembangan gempa serta permukaan laut di Selat Sunda. Dia beralasan masih ada potensi tsunami terjadi seperti yang terjadi pada Desember lalu. "Setidaknya ada tiga sumber tsunami di Selat Sunda, katanya.
Sumbernya adalah kompleks Gunung Anak Krakatau (Kompleks GAK), Zona Graben, dan Zona Megathrust. Tiga poin ini dapat memicu tsunami ketika kesalahan terjadi.
Saldy menjelaskan, kompleks GAK, yang terdiri dari Gunung Anak Krakatau, Pulau Sertung, Pulau Rakata, dan Pulau Panjang, masih rawan pergerakan sesar. Itu karena mereka dibentuk oleh batu-batu yang retak secara sistemik akibat aktivitas gunung-tektonik.
Kompleks itu rentan terhadap keruntuhan lereng batu ke lautan yang bisa memicu tsunami, jelasnya. Sumber lain, Zona Graben, juga merupakan area batu yang rentan terhadap tanah longsor, sementara Zona Megathrust juga merupakan area yang berpotensi menimbulkan kesalahan ke atas yang memicu tsunami.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati meminta masyarakat untuk menjauh dari garis pantai selama potensi tsunami ada. Orang-orang diminta berada di zona dengan radius 500 meter dari garis pantai yang ketinggiannya kurang dari 5 meter.
Dwikorita juga meminta masyarakat untuk selalu memeriksa informasi resmi terkait gempa dan tsunami di akun resmi BMKG untuk mencegah informasi yang menyesatkan tentang kondisi Selat Sunda.